Hello, I’m Veronica

The sky is not completely dark at night. Were the sky absolutely dark, one would not be able to see the silhouette of an object against the sky.

  • Konsep dasar Penilaian Pembelajaran.

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1. Latar belakang.

    Pemahaman terhadap konsep dasar penilaian dalam pembelajaran merupakan syarat wajib bagi seorang guru agar ia mampu menilai hasil belajar siswa dengan baik. Pemahaman konseptual ini sangat diperlukan agar guru mempunyai dasar yang kuat dalam menilai hasil belajar siswa.

    Penilaian menurut Permendikbud No. 23 Tahun 2016 adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Proses tersebut dilakukan melalui berbagai teknik penilaian, menggunakan berbagai instrumen, dan berasal dari berbagai sumber agar lebih komprehensif. Penilaian harus dilakukan secara efektif. Oleh sebab itu, pengumpulan informasi yang akan digunakan untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik harus lengkap dan akurat agar dihasilkan keputusan yang tepat.

    Adapun Tujuan penilaian yaitu untuk mengetahui kemajuan belajar siswa, untuk perbaikan dan peningkatan kegiatan belajar siswa serta sekaligus memberi umpan balik bagi perbaikan pelaksanaan kegiatan belajar.

    • Rumusan Masalah.
    • Apa yang dimaksud Konsep Dasar Penilaian?
    • Apa Pengertian Pengukuran, Penilaian, Tes, dan Evaluasi?
    • Apa yang dimaksud Penilaian Pendidikan?
    • Apa Tujuan, fungsi dan Prinsip Penilaian?
    • Apa Ciri-Ciri Penilaian dalam Pendidikan?

    BAB II

    PEMBAHASAN

    1. Konsep Dasar Penilaian.

    Pemahaman terhadap konsep dasar penilaian dalam pembelajaran merupakan syarat wajib bagi seorang guru agar ia mampu menilai hasil belajar siswa dengan baik. Pemahaman konseptual ini sangat diperlukan agar guru mempunyai dasar yang kuat dalam menilai hasil belajar siswa. Biasanya kita akan menemukan beberapa istilah yang sering digunakan. Beberapa istilah tersebut adalah seperti Pengukuran, Penilaian, Tes dan Evaluasi untuk menilai hasil belajar Siswa. Penilaian sering digunakan dalam konteks Asesmen dan juga dalam konteks evaluasi. Menurut Hanna (1993) pengertian Asesmen menurut Morgan dan O’Reilly (1999) adalah “Assessment is the process of collecting, interpreting, and synthesizing information to aid in decision making. Assessment synonymous with measurement plus observation. It concerns drawing inferences from these data sources. The primary purpose of assessment is to increase student’s learning and development rather than simply to grade or rank student performance. Artinya, Asesmen merupakan kegiatan untuk mengumpulkan informasi hasil belajar siswa yang diperoleh dari berbagai jenis tagihan dan mengolah informasi tersebut untuk menilai hasil belajar dan perkembangan belajar siswa. Berbagai jenis tagihan yang digunakan dalam asesmen antara lain: Kuis, Ulangan harian, Tugas individu, Tugas kelompok, Ulangan akhir semester, Laporan kerja dan lain sebagainya.

    Penilaian dalam arti asesmen merupakan suatu proses pengumpulan informasi hasil belajar siswa yang diperoleh melalui pengukuran untuk menjelaskan atau menganalisis unjuk kerja siswa dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Sedangkan penilaian dalam arti evaluasi merupakan kegiatan yang dirancang untuk mengukur efektivitas pembelajaran yang melibatkan sejumlah komponen penentu keberhasilan pembelajaran.[1]

    Dengan memahami teori tentang penilaian hasil belajar maka Guru atau Calon Guru akan mengetahui dan mampu untuk membuat perencanaan, mengembangkan alat ukur, melaksanakan pengukuran, dan melakukan asesmen. Pembelajaran konsep penilaian ini meningkatkan kompetensi guru dalam melaksanakan pengembangan penilaian berorientasi pada Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi.

    Jadi, menurut Analisis Pemakalah bahwa Ada beberapa istilah atau konsep dalam dunia pendidikan atau pembelajaran yang sangat berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, yaitu pengukuran, penilaian dan evaluasi. Berikut ini disajikan beberapa pengertian dari istilah-istilah tersebut:

    1. Pengertian Pengukuran dan Penilaian.

    Dalam kegiatan belajar mengajar, istilah pengukuran sering digunakan oleh guru untuk mengukur hasil belajar peserta didik. Guru bisanya menggunakan tes berupa kuis atau ulangan. Contohnya, untuk mengungkapkan kemampuan belajar siswa tentang materi peluang, guru menggunakan kuis yang terdiri dari 5 soal dimana setiap soal yang dijawab dengan benar mendapat skor 2. Hasil yang didapat oleh 20 siswa adalah enam siswa mendapat 4, empat siswa mendapat 6, tiga orang mendapat 7, empat orang mendapat 8, dua orang mendapat 8, satu orang mendapat 10. Skor yang didapat oleh siswa tersebut merupakan hasil pengukuran.[2]

    Pengukuran adalah suatu proses pemberian angka terhadap proses dan hasil pembelajaran berdasarkan ukuran, aturan, atau formulasi tertentu yang jelas dan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan dalam rangka memberikan judgment, yakni berupa keputusan terhadap proses dan hasil belajar.

    Penilaian adalah suatu proses sistematis yang mengandung pengumpulan Informasi, menganalisis, dan menginterprestasi informasi tersebut untuk membuat keputusan-keputusan. Penilaian hasil belajar adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis, berkelanjutan dan menyeluruh dalam rangka pengumpulan dan pengolaan informasi untuk menilai pencapaian proses dan hasil belajar peserta didik. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penilaian ialah suatu keputusan terhadap sesuatu bedasarkan suatu objek tertentu dengan kriteria tertentu. Penilaian disini juga diartikan penilaian dalam mengukur hasil belajar siswa setelah mengikuti proses pembelajaran.[3]

    • Pengertian Tes.

    Tes adalah suatu Seperangkat berupa pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk memperoleh Informasi dalam proses penilaian untuk memperoleh pencapaian proses dan hasil belajar peserta didik. Dimana setiap butir pertanyaan tersebut mempunyai Jawaban atau ketentuan yang dianggap benar. Maka dengan demikian dalam setiap Tes menuntut Siswa untuk memberi Respon atau Jawaban. Tetapi jika respons yang diberikannya salah berarti mereka belum dapat mencapai tujuan pembelajaran yang ingin kita ukur. Apabila ada seperangkat tugas atau pertanyaan yang diberikan kepada siswa tetapi tidak ada jawaban yang benar atau salah maka itu bukan tes.

    Dari uraian di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa tes merupakan alat ukur untuk memperoleh informasi hasil belajar siswa yang memerlukan jawaban benar atau salah. Gronlund dan Linn (1990) mendefinisikan: Test is an instrument or systematic procedure for measuring a sample of behavior. Artinya “Yang termasuk dalam kelompok tes antara lain tes objektif dan tes uraian. Sedangkan yang termasuk kelompok bukan tes (non-tes) antara lain pedoman pengamatan, skala rating, skala sikap, dan pedoman wawancara. Berikut ini adalah contoh tes dan non-tes.

    1. Contoh Tes Objektif.

    Menurut Carry over effect dalam pemeriksaan hasil tes uraian dapat diatasi dengan cara:

    1. Memeriksa hasil tes nomor per nomor soal untuk seluruh siswa.
    2. Memeriksa hasil tes siswa per siswa.
    3. Menggunakan dua orang pemeriksa.
    4. Memeriksa hasil tes dengan menggunakan pedoman Penskoran.
    5. Contoh Tes Uraian.

    Perhatikan percobaan yang dilakukan berikut ini: Disediakan 4 buah stoples A, B, C, dan D. Masing-masing stoples diisi dengan air dan ikan yang jenis, ukuran, dan jumlahnya sama, serta diberi makanan yang cukup. Pada stoples A ditambahkan tumbuhan air, pada stoples B ditambahkan bata merah, pada stoples C ditambahkan tumbuhan air dan bata merah, sedang pada stoples D ditambahkan tumbuhan air dan batu. Pertanyaan: 1) Pada percobaan tersebut, apakah ada hubungan antara tumbuhan air dan kelangsungan hidup ikan? Jelaskan!. 2) Ikan pada stoples mana yang dapat bertahan hidup paling lama? Jelaskan! (Skor maks: 13)

    • Non tes.

    Contoh non tes misalnya: Pedoman pengamatan untuk menilai keterampilan siswa dalam menggunakan Mikroskop, dan lain-lain.[4]

    Kita masih sering melihat di sekolah-sekolah, guru hanya menggunakan tes sebagai satu-satunya alat ukur keberhasilan belajar siswa. Pada hal kalau dicermati lebih lanjut, tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dalam GBPP ataupun dalam Satuan Pembelajaran (SP) terdapat tujuan yang mengukur ranah afektif dan psikomotor. Perbedaan tujuan pembelajaran yang akan diukur, membawa konsekuensi pada perbedaan alat ukur yang digunakan. Tetapi pada kenyataannya kita masih sering menemukan adanya mata pelajaran-mata pelajaran yang tujuan pembelajarannya mengandung ranah afektif dan psikomotor tetapi pengukuran hasil belajarnya hanya dilakukan dengan menggunakan tes. Sebagai salah satu alat ukur hasil belajar siswa, tes mempunyai beberapa kelemahan antara lain:[5]

    1. Hampir semua jenis tes hanya dapat mengukur hasil belajar dalam ranah kognitif dan keterampilan sederhana. Tes sangat sukar jika digunakan untuk mengukur keterampilan yang kompleks dan sikap,
    2. Hasil tes sering dijadikan sebagai satu-satunya indikator keberhasilan belajar siswa. Hasil tes sering dianggap sebagai gambaran yang valid dari kemampuan dan pengetahuan siswa. Pada hal butir- butir pertanyaan yang terdapat dalam tes tersebut hanya mengukur sebagian kecil dari materi atau bahan yang telah dipelajari oleh siswa,
    3. Dalam pelaksanaannya, tes selalu menimbulkan kecemasan pada diri peserta tes. Kecemasan dapat mengganggu peserta tes untuk menunjukkan kemampuannya secara maksimal. Secara psikologis kecemasan memang diperlukan agar peserta tes mampu menunjukkan hasil maksimal. Sebagai contoh, misalnya pada saat Anda sedang berjalan di tepi selokan secara tiba- tiba Anda dikejar anjing, ternyata secara spontan Anda mampu melompati selokan yang lebarnya dua meter di mana jika dalam keadaan normal hal tersebut tidak mampu Anda lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa kecemasan mampu membuat seseorang untuk mengeluarkan segala kemampuannya secara maksimal. Tetapi jika kecemasan tersebut berlebihan maka kecemasan akan menjadi faktor penghambat bagi seseorang untuk menunjukkan hasil belajarnya secara maksimal.
    4. Tes sering kali justru menghukum siswa yang kreatif. Jawaban tes sering sudah ditentukan pola dan isinya. Dengan demikian tes tidak akan pernah memberi ruang gerak yang cukup kepada siswa untuk menunjukkan kreativitasnya.
    5. Pengertian Evaluasi.

    Evaluasi memiliki arti lebih luas dari pada penilaian. Dengan kata lain, di dalam evaluasi tercakup di dalamnya penilaian. Evaluasi pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil pembelajaran yang dilakukan secara sistematis dan berkisinambungan sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. Jadi Evaluasi mencakup penilaian sekaligus pengukuran.[6]

    Tyler seperti dikutip oleh Mardapi, D. (2004) menyatakan bahwa evaluasi merupakan proses penentuan sejauh mana tujuan pendidikan telah tercapai. Banyak definisi evaluasi yang disampaikan oleh para ahli tetapi pada hakekatnya evaluasi selalu memuat masalah informasi dan kebijakan yaitu informasi tentang pelaksanaan dan keberhasilan suatu program yang selanjutnya digunakan untuk menentukan kebijakan  berikutnya. Kalau Anda akan mengevaluasi program pembelajaran yang telah Anda lakukan maka Anda harus mengevaluasi pelaksanaan dan keberhasilan dari program pembelajaran yang telah Anda rencanakan. Hasil evaluasi pembelajaran diharapkan dapat mendorong guru untuk mengajar lebih baik dan mendorong siswa untuk belajar lebih baik.[7]

    • Penilaian Pendidikan.

    Penilaian menurut Permendikbud No. 23 Tahun 2016 adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Proses tersebut dilakukan melalui berbagai teknik penilaian, menggunakan berbagai instrumen, dan berasal dari berbagai sumber agar lebih komprehensif. Penilaian harus dilakukan secara efektif. Oleh sebab itu, pengumpulan informasi yang akan digunakan untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik harus lengkap dan akurat agar dihasilkan keputusan yang tepat.

    Pembelajaran adalah merupakan inti dari proses pendididkan. Dimana didalamnya terjadi interaksi antara berbagai pihak diantaranya guru, siswa dan materi pembelajaran. misalnya Yang sesuai dengan Pendidikan Agama Islam yakni salah satunya Pada mata pelajaran fikih, dimana ini lebih memfokuskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ibadah dalam kehidupan sehari-hari. Seperti membahas masalah shalat, puasa zakat, dan bermuammalah yang berorientasi kepada ajaran Islam.[8]

    Penilaian Hasil belajar oleh pendidik terdiri atas Penilaian Sikap, Penilaian Pengetahuan, dan Penilaian Keterampilan.

    1. Penilaian Sikap.

    Penilaian sikap dilakukan oleh guru mata pelajaran (selama proses pembelajaran pada jam pelajaran) dan/atau di luar jam pembelajaran, guru bimbingan konseling (BK), dan wali kelas (selama peserta didik di luar jam pelajaran). Penilaian sikap spiritual dan sosial dilakukan secara terus-menerus selama satu semester. Penilaian sikap spiritual dan sosial di dalam kelas maupun diluar jam pembelajaran dilakukan oleh guru mata pelajaran, wali kelas dan guru BK. Guru mata pelajaran, guru BK, dan wali kelas mengikuti perkembangan sikap spiritual dan sosial, serta mencatat perilaku peserta didik yang sangat baik atau kurang baik dalam jurnal segera setelah perilaku tersebut teramati atau menerima laporan tentang perilaku peserta didik.

    Penilaian sikap dilakukan dengan teknik observasi, penilaian diri, dan penilaian antar teman. Penilaian diri dan penilaian antar teman dilakukan dalam rangka pembinaan dan pembentukan karakter peserta didik, yang hasilnya dapat dijadikan sebagai salah satu data konfirmasi dari hasil penilaian sikap oleh pendidik. Penilaian antar teman merupakan teknik penilaian yang dilakukan oleh seorang peserta didik (penilai) terhadap peserta didik yang lain terkait dengan sikap/perilaku peserta didik yang dinilai.

    • Penilaian pengetahuan (Kognitif)

    proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur proses dan hasil pencapaian kompetensi peserta didik yang berupa kombinasi penguasaan proses kognitif (kecakapan berpikir) mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi dengan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif.

    Penilaian pengetahuan dilakukan dengan berbagai teknik. Pendidik dapat memilih teknik penilaian yang paling sesuai dengan karakteristik kompetensi dasar, indikator, atau tujuan pembelajaran yang akan dinilai. Segala sesuatu yang akan dilakukan dalam proses penilaian perlu ditetapkan terlebih dahulu pada saat menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Teknik yang biasa digunakan adalah tes tertulis, tes lisan, dan penugasan.

    • Penilaian keterampilan.

    Penilaian keterampilan merupakan penilaian yang dilakukan untuk mengukur kemampuan peserta didik dalam menerapkan pengetahuan untuk melakukan tugas tertentu di berbagai macam konteks keterampilan, sesuai dengan indikator pencapaian kompetensi (IPK). Penilaian keterampilan tersebut meliputi ranah berpikir dan bertindak. Keterampilan ranah berpikir meliputi keterampilan menggunakan, mengurai, merangkai, modifikasi, dan membuat. Keterampilan dalam ranah bertindak meliputi membaca, menulis, menghitung, menggambar, dan mengarang. Cara teknik Penilaian Keterampilan misalnya dengan melakukan Praktik.[9]

    • Tujuan, Fungsi, dan Prinsip Penilaian.

    Tujuan penilaian yaitu untuk mengetahui kemajuan belajar siswa, untuk perbaikan dan peningkatan kegiatan belajar siswa serta sekaligus memberi umpan balik bagi perbaikan pelaksanaan kegiatan belajar.[10] Selain itu Tujuan penilaian adalah:

    1. Menilai hasil belajar peserta didik.
    2. Mendiagnosis kesulitan peserta didik dalam belajar.
    3. Memotivasi peserta didik dalam belajar.
    4. Mengetahui kemajuan dan hasil belajar.
    5. Mengetahui ketercapaian kompetensi.
    6. Mengetahui tingkat efektivitas pembelajaran.
    7. Memberikan umpan balik/perbaikan proses pembelajaran.
    8. Mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pembelajran pada sekolah dan masyarakat.[11]

    Adapun Fungsi Penilaian adalah sebagai berikut:

    1. Fungsi Introspeksi: yaitu mengenal kemampuannya kapasitas serta status dirinya (peserta didik) masing-masing ditengah-tengah kelompok atau kelasnya.
    2. Fungsi Refleksi bagi guru: sejauh manakah usaha yang telah dilakukan guru dalam menanamkan kompetensi.
    3. Fungsi Motivator: yakni memberikan dorongan (motivasi) kepada mereka untuk dapat memperbaiki, meningkatkan dan memepertahankan.
    4. Fungsi Diagnostik: menemukan kesulitan belajar peserta didik, mengikuti remedial atau pengayaan.
    5. Fungsi Bimbingan: membantu peserta didik memahami kemampuannya serta membuat keputusan tentang langkah berikutnya.
    6. Fungsi Instruksional: menggambarkan sejauhmana seorang peserta didik telah menguasai suatu kompetensi.
    7. Fungsi Administrative: Melaporkan kemajuan dan perkembangan peserta didik.[12]

    Menurut Suharsimi Arikunto fungsi penilaian adalah sebagai Berikut:[13]

    1. Penilaian berfungsi selektif.

    Penilaian berfungsi selektif ini maksudnya adalah dengan diadakannya penilaian oleh guru, maka guru mempunyai cara untuk mengadakan seleksi kepada siswa. Misal Tujuannya adalah Untuk memilih siswa yang dapat diterima di sekolah tertentu, Untuk memilih siswa yang dapat naik kelas atau tingkat berikutnya, Untuk memilih siswa yang seharusnya mendapat beasiswa, Untuk memilih siswa yang sudah berhak meninggalkan sekolah dan lain sebagainya.

    • Penilaian berfungsi diagnostik.

    Penilaian berfungsi sebagai diagnostik ini maksudnya adalah ketika suatu alat yang digunakan dalam penilaian cukup memenuhi persyaratan, maka dengan melihat hasilnya guru akan mengetahui kelemahan siswa dan juga penyebababnya. Dengan diketahui kelemahan dan penyebab kelemahan pada siswa tersebut, maka guru akan lebih mudah dalam mencari cara mengatasinya.

    • Penilaian berfungsi sebagai penempatan.

    Penilaian berfungsi sebagai penempatan ini maksudnya ialah ketika mengadakan penilaian maka guru dapat menempatkan siswa pada kelompok belajar sesuai dengan tingkat pemahamnnya.

    • Penilaian berfungsi sebagai pengukuran keberhasilan Penilaian.

    Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan ini maksudnya guru mengetahui sejauh mana program itu berhasil diterapkan. Karena keberhasilan suatu program ditentukan oleh beberapa faktor yaitu faktor guru, metode mengajar, kurikulum, saranan, dan sistem administrasi.

    Jadi, dapat disimpulkan tentang Fungsi penilaan di atas menurut Analisis Pemakalah adalah bahwa fungsi dari penilaian ini sangatlah banyak, tidak hanya menilai hasil belajar siswa saja melainkan juga berfungsi selektif agar siswa dapat diterima dalam jenjang sekolah tertentu.

    Agar penilaian yang Anda lakukan benar-benar dapat memberi gambaran yang sebenarnya tentang pencapaian hasil belajar siswa maka dalam melakukan penilaian Anda perlu memperhatikan Prinsip-prinsip penilaian berikut:

    1. Berorientasi pada pencapaian kompetensi.

    Penilaian yang Anda lakukan harus berfungsi untuk mengukur ketercapaian siswa dalam pencapaian kompetensi seperti yang telah ditetapkan dalam kurikulum.

    • Valid.

    Contoh: pada akhir pembelajaran IPA siswa diharapkan dapat mempraktekkan cara mencangkok yang baik dan benar. Untuk mencapai kompetensi tersebut Anda tidak dapat menilainya hanya dengan menggunakan tes tertulis (paper and pencil test). Jika hanya itu yang Anda lakukan, Anda hanya akan dapat mengukur pengetahuan siswa tentang mencangkok. Agar Anda dapat mengetahui keterampilan siswa dalam mencangkok, Anda perlu menilai unjuk kerja siswa.

    • Bermakna.

    Hasil penilaian hendaknya mempunyai makna bagi siswa dan juga pihak-pihak yang berkepentingan. Hasil penilaian hendaknya dapat memberikan gambaran mengenai tingkat pencapaian hasil belajar siswa, keunggulan dan kelemahan siswa, minat, serta potensi siswa dalam mencapai kompetensi yang telah ditetapkan.

    • Menyeluruh.

    Prinsipnya menyeluruh yang meliputi standar kompetensi, kemampuan dasar, indikator, ranah/domain (baik kognitif, afektif, maupun psikomotor), dan Objek Penilaian (proses dan hasil belajar).

    • Berkelanjutan.

    Berkelanjutan Penilaian mata kuliah juga hendaknya dilakukan berkelanjutan (direncanakan dan dilakukan terus menerus) guna mendapatkan gambaran yang utuh mengenai perkembangan hasil belajar mahasiswa sebagai dampak langsung, dampak instruksional/ pembelajaran maupun dampak tidak langsung dari proses pembelajaran.

    • Berorientasi pada Indikator Ketercapaian.

    Sistem Penilaian dalam pembelajaran harus mengacu pada indikator ketercapaian yang sudah ditetapkan berdasarkan kemampuan dasar dan standar kompetensi. Dengan demikian, hasil Penilaian akan memberikan gambaran tentang ketercapaian kemampuan dasar dan standar kompetensi dalam mata kuliah.

    • Sesuai dengan Pengalaman Belajar.

    Pengalaman belajar dalam konteks ini adalah interaksi pembelajar/mahasiswa dengan sumber belajar, baik dengan sumber belajar berupa bacaan/buku, media interaktif, karya Kriya dan kerajinan, maupun dengan sumber belajar lainnya.

    • Terintegrasi.[14]
    • Ciri-ciri penilaian dalam Pendidikan.

    Ciri-ciri atau Kriteria penilaian dalam Pendidikan yaitu:

    1. Validitas, Berarti menilai apa yang seharusnya dinilai dengan menggunakan alat yang sesuai untuk mengukur kompetensi.
    2. Reliabilitas Berkaiatan dengan Konsistensi (keajegan) hasil penilaian.
    3. Penilaian yang reliable memungkinkan perbandingan yang menjamin konsistensi.
    4. Terfokus pada kompetensi Dalam pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
    5. yang berbasis kompetendi, penilaian harus terfokus pada Pencapaian kompetensi.
    6. Keseluruhan/Komperehensif Penilaian harus menyeluruh dengan menggunakan beragamalat dan cara untuk menilaia beragam kompetensi peserta didik.
    7. Objektivitas, Penilaian harus dilaksanakan secara objektif, untuk itu penilaian harus adil, terencana, berkesinambungan, dan menerapkan kriteria yang jelas dalam pemberian skor.
    8. Mendidik, Penilaian dilakukan untuk memperbaiki proses pembelajaran bagi guru dan meningkatkan kualitas belajar peserta didik.[15]

    BAB III

    PENUTUP

    1. Kesimpulan.

    Penilaian adalah suatu proses sistematis yang mengandung pengumpulan Informasi, menganalisis, dan menginterprestasi informasi tersebut untuk membuat keputusan-keputusan. Penilaian hasil belajar adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis, berkelanjutan dan menyeluruh dalam rangka pengumpulan dan pengolaan informasi untuk menilai pencapaian proses dan hasil belajar peserta didik.

    Pemahaman terhadap konsep dasar penilaian dalam pembelajaran merupakan syarat wajib bagi seorang guru agar ia mampu menilai hasil belajar siswa dengan baik. Pemahaman konseptual ini sangat diperlukan agar guru mempunyai dasar yang kuat dalam menilai hasil belajar siswa. Biasanya kita akan menemukan beberapa istilah yang sering digunakan. Beberapa istilah tersebut adalah seperti Pengukuran, Penilaian, Tes dan Evaluasi untuk menilai hasil belajar Siswa.

    Adapun Tujuan penilaian yaitu untuk mengetahui kemajuan belajar siswa, untuk perbaikan dan peningkatan kegiatan belajar siswa serta sekaligus memberi umpan balik bagi perbaikan pelaksanaan kegiatan belajar

    • Saran.

    Maka dari itu pemakalah berharap kepada pembaca khususnya generasi pemuda terutama mahasiswa dapat mengetahui sejarah Ham, Pengertian Ham, Ham dalam UUD RI, Macam-macam Ham dan karakteristik Ham serta pelanggaran Ham dapat menjalankan di kehidupan sehari-hari dan setelah mengikuti mata kuliah Kewarganegaraan mahasiswa mendapatkan sudut pandang baru.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. ‘Konsep Dasar Penilaian’, Jurnal Pendidikan.
    2. ‘Konsep Dasar Penilaian Pembelajaran.’, 2013.
    3. Sulfemi, Wahyu Bagja, ‘Standar Penilaian Pendidikan’, Jurnal Pendidikan, 106, 2019.
    4. Suryanto, Adi, ‘Konsep Dasar Penilaian Dalam Pembelajaran’, Jurnal Pendidikan, 1–42.
    5. Uinsuska, Riau, ‘“Penilaian”’, Jurnal Pendidikan, 2014, 9–40.
    6. Wiwik Setiawati, Oktavia Asmira, Yoki Ariyana, Reisky Bestary, Ari Pudjiastuti.
    7. ‘Pembelajaran 6. Konsep Penilaian’, 2016, 119–46.


  • Hadist Perceraian

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1. Latar belakang.

    Kata cerai menurut Kamus besar Bahasa Indinesia adalah: Pisah, putus hubungan sebagai suami istri. Kemudian, kata “perceraian” mengandung arti: Perpisahan, perihal bercerai; perpecahan. Adapun kata bercerai bererti: tidak bercampur (berhubungan, bersatu) lagi, berhenti berlaki-bini (suami istri). Fuad Said mengemukakan bahwa perceraian dapat terjadi dengan cara: talak, khulu’, fasakh, li’an, dan ila’. Definisi Talak menurut bahasa merupakan Akar dari kata Al-Ithlaq yang artinya melepaskan atau meninggalkan atau bermakna mengakhiri.

     Perundang-undangan telah mengatur yang berkaitan dengan tata cara perceraian dan hal-hal yang berkaitan dengan akibat yang ditimbulkannya. Pasal 38 Undang-undang No.1 tahun 1974 menegaskan bahwa: “Perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, atas keputusan Pengadilan. Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan, jika salah satu pihak dari suami ataupun isteri meninggal dunia.

    Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 113, disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena: (1) Kematian (2) Perceraian (3) Putusan Pengadilan Pada pasal 11 dijelaskan bahwa: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Selanjutnya pada pasal 115 bahwa: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

    • Rumusan masalah.
    • Apa Hadits Tentang Talak?
    • Apa Hadits Tentang Khulu’?
    • Apa Hadits Tentang Zihar?
    • Apa Hadits Tentang Li’an?
    • Apa Hadits Tentang Iddah dan Ihdad?
    • Tujuan.
    • Untuk Mengetahui Hadits Tentang Talak.
    • Untuk Mengetahui Hadits Tentang Khulu’.
    • Untuk Mengetahui Hadits Tentang Zihar.
    • Untuk Mengetahui Hadits Tentang Li’an.
    • Untuk Mengetahui Hadits Tentang Iddah dan Ihdad.

    BAB II

    PEMBAHASAN

    1. Hadits Tentang Talak.

    Diriwayatkan oleh Abu Daud yang berbunyi:

    حَدَّثَنَا كَثِيرٌ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ خَالِدٍ عَنْ مُعَرَّفٍ يْنٍ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبٍ يْنِ دِتَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيٌ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلَالٍ إِلَى اللهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ

    Terjemahan: “Diceritakan Katsir bin Ubaid diceritakan Muhammad bin Khalid dari Mu arif bin Washil dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Umar dari Nabi saw bersabda: Sesuatu yang halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak. (Hadits riwayat Abu Daud dan dinyatakan shaheh oleh al-hakim).

    Sanad:

    حَدَّثَنَا كَثِيرٌ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ خَالِدٍ عَنْ مُعَرَّفٍ يْنٍ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبٍ يْنِ دِتَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ

    Matan:

    أَبْغَضُ الْحَلَالٍ إِلَى اللهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ

    Perawi:

    ابو داوُد

    Takhrij Hadits:

    1. Sunan Abu Daud juz II pada hadits yang ke 2178 dan 2177.
    2. Sunan Ibnu Majjah juz I pada hadits yang ke 2018.

    Kandungan Hadits:

    1. Memuat penjelasan tentang talak beserta hukumnya.
    2. Jika hadits di atas dicermati secara seksama, maka akan nampak sesuatu hal yang menarik, yakni pada kandungan matan yang menjelaskan tentang istilah abghadh dan halal. Istilah abghadh dan halal ini merupakan lafadz yang sama-sama disandarkan kepada Allah SWT, yakni Allah SWT telah menghalalkan adanya talak, namun di sisi lain Allah SWT juga sangat membecinya.
    3. Dapat dipahami bahwa Allah SWT sangat memperhatikan hukum-hukum masalah tatanan keluarga dan rumah tangga.
    4. Dikatakan bahwa kebencian yang dijelaskan menggunakan kata bughdhun adalah yang berkaitan dengan masalah- masalah akhlak dan erat dengan hubungan sosial, yaitu digunakan dalam hal menjelaskan masalah akidah yang tidak berdampak pada ketentuan hukum fikih, tetapi hanya berakibat pada tingkatan keimanan seseorang. Sehingga beberapa ulama mengatakan bahwa talak itu merupakan perbuatan yang terlarang, Karena ia merupakan perbuatan yang tercela dan dimurkai oleh Allah SWT.
    5. Ketika setiap usaha dan jalan yang ditempuh untuk menghindari terjadinya talak telah buntu, maka Islam memandang begitu sesal akan terjadinya talak. Dalam hal ini mau tidak mau talak memang harus terjadi. Maka makna akan kemurkaan Allah SWT dalam konteks yang demikian, yaitu rasa sesal, rasa sedih, kecewa, rasa iba, dan sayang akan terjadinya talak. Dengan kata lain kemurkaan Allah SWT haruslah diterjemahkan sebagai bentuk rasa sesal, sedih, kecewa, iba, sayangnya Islam. Sebab setiap usaha dan jalan yang ditempuh untuk memperbaiki struktur rumah tangga ternyata telah buntu. Maka dalam makna yang demikian itulah terdapat makna kehalalannya.[1]

    Fuad Said mengemukakan bahwa perceraian dapat terjadi dengan cara: talak, khulu’, fasakh, li’an, dan ila’. Pasal 38 Undang-undang No.1 tahun 1974 menegaskan bahwa: “Perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, atas keputusan Pengadilan. Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan, jika salah satu pihak dari suami ataupun isteri meninggal dunia.[2]

    Definisi Talak menurut bahasa merupakan Akar dari kata Al-Ithlaq yang artinya melepaskan atau meninggalkan atau bermakna mengakhiri.[3] Talak dalam Islam secara bahasa berarti melepaskan tali. Sedangkan menurut istilah talak merupakan salah satu pemutusan hubungan ikatan suami istri karena sebab-sebab tertentu, yang sudah tidak mungkin untuk dapat dipertahankan lagi. Sedangkan pengertian talak menurut istilah dalam karya Mahmud Yunus adalah: “Talak itu ialah menghilangkan ikatan pernikahan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu.

    Istilah talak dalam fikih mempunyai dua arti, yakni umum dan khusus. Dalam arti yang umum talak merupakan segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami atau yang dijatuhkan oleh hakim. maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya kerena meninggalnya salah seorang dari suami istri. Sedangkan dalam arti yang khusus talak merupakan perceraian yang dijatuhkan oleh seorang suami. Dengan demikian melepaskan di sini merupakan pemutusan hubungan perkawinan suami istri yang dikarenakan adanya masalah yang sudah tidak mungkin untuk didamaikan lagi, dan dijadikan sebagai jalan keluar yang terakhir.[4]

    Kata-kata talak ada yang diucapkan secara terus terang, ada juga yang dilakukan dengan sindiran. Kata-kata yang diucapka, d.rgun terus terang mengandung kata-kata yang sudah jelas dan sudah dimengerti maksudnya. Seperti kalimat, “Engkau aku talak atau menggunakan semua kalimat yang berasal dari turunan kata talak. Imam Syafi’i berkata, “Kata-kata talak yang dikategorikan terus terang terbagi menjadi tiga, yaitu: kata ath-thardq (talak), ar-firdq (berpisah ) dan as-sardh (cerai). Inilah kata-kata yang disebutkan dalam Al-quran. Talak terdapat terbagi menjadi dua kepada talak sunnah dan talak bid’ah. [5]

    Mengenai Jumlah talak menurut Mazhab Syafi’i berkata Mereka mengatakan, lafal-lafal kiasan semuanya berimplikasi pada jatuhnya talak yang diniatkan oleh suami. Jika dia tidak meniatkan talak maka tidak berimplikasi pada apa pun. Jika dia meniatkannya lebih dari satu maka yangberlaku adalah talak yang sesuai denganniatnya, walaupun dia mengaitkannya dengan kata satu. Misalnya, suami mengatakan kepada istrinya, “Kamu satl),” dan meniatkannya sebagai talak dua padanya, atau talak tiga, sebagaimana yang telah dipaparkan terkait sharih. Penetapan talak pada suami disesuaikan denganniatnya, karena syariat menetapkan jumlah talak hanya terbatas pada tiga. Dengan demikian talak yang diniatkannya termasuk dalam ketentuan yang diucapkan, sehingga secara hukum tergolong sebagai lafal, dan pengikatannya dengan satu tidak menghalangi masuknya yang diniatkannya pada lafal.[6]

    • Hadits Tentang Khulu’.

    Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.

    جَاءَتْ امرَأَةُ ثَابِت بْنِ قَيْس بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّه مَاأَنقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِيْنٍ وَلاَ خُلُقِ إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ فَقَالَ رَسُواللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيقََتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا

    Terjemahan:

    Isteri Meminta Talak Karena Suami Meninggalkan Shalat “Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” [HR Al-Bukhari]

    Sanad:

    امرَأَةُ ثَابِت بْنِ قَيْس بْنِ شَمَّاسٍ

    Matan:

    فَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيقََتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا

    Perawi:

    البحاري

    Takhrij Hadits: (Shahih Bukhori).

    Kandungan Hadits: Isteri Meminta Talak Karena Suami Meninggalkan Shalat (Gugat Cerai).

    Khulu` (Gugat Cerai) adalah Talak yang diucapkan suami kepada istri atas permintaannya dengan adanya pembayaran atau tebusan dari istri. Khala’-kha’-fathah adalah bentuk mashdar qiyasi, artinya menghilangkan pakaian, atau mencabutnya secara kasat mata, sementara khulu’-kha’ dhammah artinya adalah arti mashdar qiyasi, namun secara maknawi kata ini digunakan untuk arti menghilangkan ikatan suami-istri. Khulu’ menurut syar’i (Mazhab Imam Syafi’i) adalah kata-kata yang menunjukkan perceraian antara suami-istri dengan kompensasi.[7]

    Khulu Berarti Menyerahkan Urusan Talak kepada Istri. Mayoritas para ulama, di antaranya adalah Imam mazhab yang empat berpendapat bahwa jika suami mengizinkan khulu’kepada istrinya, berarti istri memiliki kuasa terhadap dirinya dan urusan talak sepenuhnya berada pada dirinya. Di samping itu, suami tidak mempunyai kesempatan lagi untuk merujuk istrinya. Karena istri telah mengeluarkan hartanya untuk melepaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Jika suami tetap dianggap memiliki hak rujuk, tentu tebusan istri yang diberikan kepada suaminya tidak memiliki makna apapun. Sekalipun mantan istri yang mengajuka khulu’ mengembalikan kembali pembayaran tebusan istri setelah khulu’ dijadikan dan mantan istri mau menerimanya, namun mantan suami tetap tidak berhak rujuk meskipun istri masih dalam masa iddah. Sebab, dengan Khulu’, berarti mantan istrinya dianggap telah dijatuhi talak ba’in. Talak ba’in adalah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istri untuk yang ketiga, atau talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya sebelum terjadi persetubuhan di antara keduanya, atau talak dengan membayar tebusan yang diserahkan oleh istri kepada suaminya.

    Diriwayatkan dari Ibnu al-Musayyib dan az-Zuhri, bahwa jika mantan suami ingin kembali rujuk, maka dia wajib mengembalikan pembayaran tebusan yang diambil dari istrinya ketika masih dalam masa ‘iddah dan mesti disaksikan oleh orang lain bahwa dirinya ingin melaksanakan rujuk.

    • Hadits Tentang Zihar.

    وَقَوْلِ اللهِ تَعَالَى (قَدْ سَمِعَ اللهُ قَوْلً اَلَّتِي تُجَدِلُكَ فِى زَوْجِهَا -إِلَى قَوْلِهِ- فَمَن لَّمْ يَسْتَطِعٌ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكينًا) وَقَالَ لِي إِسْمَاعِيلُ حَدلَنِي مَالِكً اَنْهُ سَاَلَ ابْنَ شِهَابٍ عَنْ ظِهَارِ الْعَبْدِ فَقَالَ نَحْوَ ظِهَارِ.قال مالِكٌ وَصِيَامٌ الْعَبْدِ شَهْرَانِ وَقَالَ الْحِسَنُ بْنُ الْحُرِّ ظِهَارُ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ مِنَ الْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ سَوَاءٍ وَقَالَ عِكْرِمَةُ إِنْ ظَاهَرَ مِنْ أَمَتِهِ فَلَيْسَ بِشَيْءٍ إِنَّمَا الظِّهَارُ مِنَ النِّسَاءِ وَفِي الْعَرَبِيَّةِ لِمَا قَالُوْا أَيْ فِيْمَا قَالُوا وَفِي بَعْضِ مَا قَلُوا وَهَذَا أَوْلَى لِأَنَ الله لَمْ يَدَلٌ عَلَى الْمُنْكَرِ وَقَوْلِ الزُّورِ.

    Terjemahan:

    Firman allah Ta’ala, “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya..” sampai pada firman-Nya “Tetapi barang siapa tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin..” (QS. Al-Mujaadilah: 1-4). Ismail mengatakan kepadaku, “ Malik telah memberitahukan kepadaku bahwa dia bertanya kepada Abu syihab tentang Zhihar budak, lalu dia bertanya kepada Aby Syihab tentang Zhihar budak, lalu dia menjawab, “Serupa dengan Zhihar orang merdeka” Malik mengatakan, “dan puasa budak (sebagai kafara-nya) adalah dua bulan.” Al-Hasan bin Al-Hurr mengatakan, “Zhihar orang merdeka dan budak laki-laki maupun budak perempuan sama.” Ikrimah mengatakan, “Jika dia menjatuhkan Zhihar kepada budak perempuannya, maka tidak dikenai ketentuan apa-apa; karena zhihar hanya dilakukan terhadap kaum wanita (merdeka). Dalam bahasa Arab ‘limaa qaaluu’ (kepada apa yang mereka katakan) berarti ‘Fimaa Qaaluu’  (terkait apa yang merek katakan) dan ‘Fii ba’dhi maa qaaluu’ (terkait sebagian yang merek katakan). Ini yang lebih tepat; karena Allah tidak menuntun kita pada kemungkaran dan perkataan dusta. (Shahih Bukhari)[8]

    Sanad:

    إِسْمَاعِيلُ حَدلَنِي مَالِكً اَنْهُ سَاَلَ ابْنَ شِهَابٍ عَنْ ظِهَارِ الْعَبْدِ فَقَالَ نَحْوَ ظِهَارِ.قال مالِكٌ وَصِيَامٌ الْعَبْدِ شَهْرَانِ وَقَالَ الْحِسَنُ بْنُ الْحُرِّ ظِهَارُ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ مِنَ الْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ سَوَاءٍ وَقَالَ عِكْرِمَةُ

    Matan:

    إِنْ ظَاهَرَ مِنْ أَمَتِهِ فَلَيْسَ بِشَيْءٍ إِنَّمَا الظِّهَارُ مِنَ النِّسَاءِ وَفِي الْعَرَبِيَّةِ لِمَا قَالُوْا أَيْ فِيْمَا قَالُوا وَفِي بَعْضِ مَا قَلُوا وَهَذَا أَوْلَى لِأَنَ الله لَمْ يَدَلٌ عَلَى الْمُنْكَرِ وَقَوْلِ الزُّورِ.

    Perawi:

    البحاري

    Takhrij Hadits: (Shahih Bukhori dalam kitab Syarah).

    Kandungan Hadits:

    1. Allah mengabarkan tentang perempuan yang datang kepada Rasulullah untuk mengajukan gugatan kepada suaminya yang telah menziharnya. Perempuan yang menyampaikan gugatan bernama Khaula Binti Tsalabah, sedang suaminya yang menziharnya bernama  Aus bin Ash- Shamit.
    2. Firnan Allah Ta’Ala, “Orang-orang di antara kamu yang menzhihnr istrinya, (menganggap istrinya sebagai ibunya)” (QS. Al-Mujaadilah: 2) Yakni mereka mengatakan kepada istri mereka, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku.” Ini termasuk Zhihar. Namun punggung ibu haram bagi anaknya atau tidak? Hararn, bahkan lebih ditegaskan lagi dari sekedar haram.

    Zhihar dari bentuk kata dasar zhaalura-yuzhaahiru diambil dari kata zhahr (punggung). Yaitu orirng menyerupakan istrinya dengan orang yang haram untuk dinikahinya selama-lamanya lantaran nasab atau sebab yang mubah. Misalnya dia mengatakan kepada istrinya, Kamu bagiku seperti punggung ibuku,” atau “Kamu bagiku seperti punggung ibu susuanku,” atau “Kamu bagiku seperti punggung ibumu. Yang pertama -seperti punggung ibuku- adalah lantaran nasab, yang kedua lantaran susuan, dan yang ketiga lantaran hubungan antara menantu dan mertua.dan  Jika dia menyerupakan istrinya dengan orang yang haram untuk dinikahinya selama-lamanya, maka inilah yang disebut zhihar.

    • Hadits Tentang Li’an.

    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رض اَنَّ هِلاَلَ بْنَ اُمَيَّةَ قَذَفَ امْرَأَتَهُ فَجَاءَ فَشَهِدَ وَ النَّبِيُّ ص يَقُوْلُ: اِنَّ اللهَ يَعْلَمُ اَنَّ اَحَدَكُمَا كَاذِبٌ، فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ ثُمَّ قَامَتْ فَشَهِدَتْ. البخارى

    Terjemahan:

    Dari Ibnu ‘Abbas RA, bahwasanya Hilal bin Umayyah menuduh istrinya berbuat zina, lalu ia datang (kepada Nabi SAW) dan bersaksi (bersumpah). Dan Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa salah satu diantara kalian berdua adalah bohong. Maka apakah diantara kalian mau bertaubat?”. Kemudian wanita itu berdiri, dan iapun bersaksi (bersumpah). [HR. Bukhari juz 6, hal. 178]

    Sanad:

    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رض اَنَّ هِلاَلَ بْنَ اُمَيَّةَ قَذَفَ امْرَأَتَهُ فَجَاءَ فَشَهِدَ وَ النَّبِيُّ

    Matan:

    اِنَّ اللهَ يَعْلَمُ اَنَّ اَحَدَكُمَا كَاذِبٌ، فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ ثُمَّ قَامَتْ فَشَهِدَتْ

    Perawi:

    البخارى

    Takhrij Hadits: ( Shahih Bukhari Juz 6 hal 178)

    Kandungan Hadits: (Menjelaskan tentang tuduhan berbuat Zina. Hilal bin Umayyah menuduh istrinya telah berbuat Zina).

    Li`an adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu. Contoh seorang suami me nyatakan bahwa istrinya telah berbuat zina. Anda selaku suami harus menunjukkan bukti. Iika tidak punya maka kami katakan, Jika istri mengaku, istri dihukum had dan hukuman menuduh zina tidak diberlakukan bagi anda, sementara jika istri mengingkari tuduhan itu, anda selaku penuduh wajib dihukum had qadzaf (menuduh berbuat zina); delapan puluh kali dera kecuali jika menyumpah li’an.

    Allah telah menerangkan di dalam QS. An-Nuur: 6-7. Ayat ini menerangkan bahwa suami yang menuduh istrinya berzina, dan ia tidak dapat mendatangkan empat orang saksi yang melihat sendiri perbuatan zina yang dituduhkan itu, maka ia diminta untuk bersumpah demi Allah sebanyak empat kali bahwa istrinya itu benar-benar telah berzina. Sumpah empat kali itu untuk pengganti empat orang saksi yang diperlukan bagi setiap orang yang menuduh perempuan berzina

    • Hadits Tentang Iddah dan Ihdad.
    • Iddah.

    حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ طَلَّقْتُ امْرَأَتِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهْىَ حَائِضٌ فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ‏”‏ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لْيَدَعْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ حَيْضَةً أُخْرَى فَإِذَا طَهُرَتْ فَلْيُطَلِّقْهَا قَبْلَ أَنْ يُجَامِعَهَا أَوْ يُمْسِكْهَا فَإِنَّهَا الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ ‏”‏ ‏.‏ قَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ قُلْتُ لِنَافِعٍ مَا صَنَعَتِ التَّطْلِيقَةُ قَالَ وَاحِدَةٌ اعْتَدَّ بِهَا

    Terjemahan: “Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami: Ayahku menceritakan kepada kami: Ubaidullah menceritakan kepada kami dari Nafi’, dari Ibnu Umar. Beliau mengatakan: Aku menceraikan istriku di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sedang haid, lalu Umar menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau bersabda, “Perintahkan dia agar merujuknya kemudian membiarkannya sampai suci kemudian haid sekali lagi. Lalu jika wanita itu sudah suci, silakan dia menceraikannya sebelum menggaulinya atau mempertahankannya. Sesungguhnya itu adalah (waktu yang wajar menghadapi) idah yang diperintahkan Allah jika ingin menceraikan istri.” Ubaidullah bertanya kepada Nafi’: Apa yang terjadi dengan ucapan talak dalam keadaan demikian? Beliau menjawab: Dihitung satu talak”.

    Sanad:

    حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ طَلَّقْتُ امْرَأَتِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهْىَ حَائِضٌ فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم

    Matan:

    مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لْيَدَعْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ حَيْضَةً أُخْرَى فَإِذَا طَهُرَتْ فَلْيُطَلِّقْهَا قَبْلَ أَنْ يُجَامِعَهَا أَوْ يُمْسِكْهَا فَإِنَّهَا الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ

    Perawi:

    صحيح مسلم

    Takhrij Hadits: (Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1471).

    Kandungan Hadits:

    1. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa dia menceraikan istrinya sementara istrinya sedang haid. Umar menceritakan hal itu kepada Rasulullah. Lalu, beliau murka dan bersabda, “Hendaklah dia merujuknya!” Maka lbnu Umar menahan istrinya sampai suci kemudian haid, lalu suci lagi. Jika lbnu Umar melihat lebih baik mencerainya, maka hendaklah dia mencerainya dalam keadaan suci sebelum dia menyetubuhi istrinya. ltulah iddah yang diperintahkan oleh Allah untuk mencerai istri.[9]
    2. Pengharaman menalak wanita haid tanpa ridanya dan bahwa andai ada yang menyelisihi, maka tetap jatuh talak dan ia diperintah untuk merujuknya.[10]

    Secara Etimologis, kata ‘iddah berasal dari kata kerja ‘adda- ya’uddu yang artinya kurang lebih al-ihsha’, hitungan, perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Dari sudut bahasa, kata ‘iddah biasanya dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada perempuan. Artinya, perempuan (istri) menghitung hari-hari haidnya dan masa-masa sucinya. Sedangkan menurut istilah ‘iddah adalah suatu tenggang waktu tertentu yang harus dihitung oleh seorang perempuan semenjak ia berpisah (bercerai) dengan suaminya, baik perpisahan itu disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal dunia; dan dalam masa tersebut perempuan itu tidak dibolehkan kawin dengan laki-laki lain.

    • Ihdad.

    أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَسْلَمَ يُقَالُ لَـهَا سُبَيْعَةُ كَانَتْ تَحْتَ زَوْجِهَا تُوُفِّيَ عَنْهَا وَهِيَ حُبْلَى. فَخَطَبَهَا أَبُوْ السَّنَابِلِ بنُ بَعْكَكِ فَأَبَتْ أَنْ تَنْكِحَهُ. فَقَالَ: وَاللهِ مَا يَصْلُحُ أَنْ تَنِكِحِيْهِ حَتَّى تَعْتَدِّي آخِرَ الْأَجَلَيْنِ. فَمَكَثَتْ قَرِيْبًا مِنْ عَشْرِ لَيَالٍ ثُمّ جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : انْكِحِيْ

    Terjemahan: “Ada seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah. Ia sedang hamil saat suaminya meninggal dunia. Setelah melahirkan ia dipinang oleh Abus Sanabil bin Ba’kak. Namun, Subai’ah menolak untuk menikah dengannya. Lalu Abus Sanabil berfatwa kepada Subai’ah, “Demi Allah, tidak sepantasnya engkau menikah dengannya sampai engkau beriddah dalam waktu yang paling akhir (paling panjang) dari dua waktu yang ada”. Subai’ah pun berdiam selama sepuluh malam. Kemudian, ia mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam, untuk bertanya tentang urusannya. Ternyata Nabi bersabda, “Menikahlah.” (HR. al-Bukhari no. 5318)

    Sanad:

    أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَسْلَمَ يُقَالُ لَـهَا سُبَيْعَةُ كَانَتْ تَحْتَ زَوْجِهَا تُوُفِّيَ عَنْهَا وَهِيَ حُبْلَى. فَخَطَبَهَا أَبُوْ السَّنَابِلِ بنُ بَعْكَكِ فَأَبَتْ أَنْ تَنْكِحَهُ

    Matan:

    وَاللهِ مَا يَصْلُحُ أَنْ تَنِكِحِيْهِ حَتَّى تَعْتَدِّي آخِرَ الْأَجَلَيْنِ. فَمَكَثَتْ قَرِيْبًا مِنْ عَشْرِ لَيَالٍ ثُمّ جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : انْكِحِيْ

    Perawi:

    البخارى

    Takhrij Hadits: (Shahih Bukhari No. 5318).

    Kandungan Hadits: (Ada seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah. Ia sedang hamil saat suaminya meninggal dunia).

    Secara Etimologis, ihdad atau juga disebut hidad berarti mencegah dari memakai perhiasan. Dalam vocabulary Arab, ihdad berarti keadaan perempuan yang tidak menghias dirinya sebagai tanda perasaan berkabung atas kematian suaminya atau keluarganya. Kalau bagi selain suami, ihdâd hanya dilakukan sampai masa tiga hari. Dalam ajaran fikih konvensional, ihdad hanya berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya, dan tidak berlaku terhadap suami yang ditinggal mati istrinya. Ihdad juga tidak dapat dikenakan kepada istri yang ditalak raj’i dan talak ba`in.

    BAB III
    PENUTUP

    1. Kesimpulan.

    Kata cerai menurut Kamus besar Bahasa Indinesia adalah: Pisah, putus hubungan sebagai suami istri. Definisi Talak menurut bahasa merupakan Akar dari kata Al-Ithlaq yang artinya melepaskan atau meninggalkan atau bermakna mengakhiri. Khulu` adalah Talak yang diucapkan suami kepada istri atas permintaannya dengan adanya pembayaran atau tebusan dari istri.

    Zhihar dari bentuk kata dasar zhaalura-yuzhaahiru diambil dari kata zhahr (punggung). Yaitu orang menyerupakan istrinya dengan orang yang haram untuk dinikahinya selama-lamanya lantaran nasab atau sebab yang mubah. Misalnya dia mengatakan kepada istrinya, Kamu bagiku seperti punggung ibuku,” atau “Kamu bagiku seperti punggung ibu susuanku,” atau “Kamu bagiku seperti punggung ibumu. Yang pertama -seperti punggung ibuku- adalah lantaran nasab, yang kedua lantaran susuan, dan yang ketiga lantaran hubungan antara menantu dan mertua. dan  Jika dia menyerupakan istrinya dengan orang yang haram untuk dinikahinya selama-lamanya, maka inilah yang disebut zhihar.

    Iddah adalah suatu tenggang waktu tertentu yang harus dihitung oleh seorang perempuan semenjak ia berpisah (bercerai) dengan suaminya, baik perpisahan itu disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal dunia; dan dalam masa tersebut perempuan itu tidak dibolehkan kawin dengan laki-laki lain.

    Ihdad berarti keadaan perempuan yang tidak menghias dirinya sebagai tanda perasaan berkabung atas kematian suaminya atau keluarganya. Kalau bagi selain suami, ihdâd hanya dilakukan sampai masa tiga hari

    • Saran.

    Dalam penulisan makalah ini kami menyadari banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyampaian maupun penulisan kalimat. Oleh karena itu, kami sebagai penulis makalah ini meminta kritik dan saran sehingga kedepannya kami dapat menulis makalah ini dengan baik.

    DAFTAR PUSTAKA

    Al-juzairi, Abdurrahman, Fikih Empat Madzhab; Jilid 5 (Kautsar)

    Fattah, Abdul, Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6 Shahih, Sistematis, Lengkap, ed. by S.S Ircham Alvansyah (Jakarta Timur: Maghfirah Pustaka)

    Muhammad, Syaikh, B I N Shalih, and Kitab Fadha Al-quian Al-qufanl, ‘SHAHIH AL-BUKHARI’

    <http://ismailibnuisa.blogspot.com/&gt;

    Perkawinan, Perkara Pembatalan, ‘Fakultas Syari ’ Ah Universitas Islam Negeri ( Uin ) Malang Fakultas Syari ’ Ah Universitas Islam Negeri ( Uin ) Malang’, 04210110, 2008, 1–102

    Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah; Bab Talak

    Siregar, Ramadhan Syahmedi, ‘KEABSAHAN PERCERAIAN PERSPEKTIF FIQH DAN UNDANG-UNDANG No. 1 TAHUN 1974’, AL-MUQARANAH – Jurnal Program Studi Perbandingan Mazhab, 5.1 (2017), 17–30

    <http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/almuqaranah/article/view/1349&gt;


    [1]Perkara Pembatalan Perkawinan, Fakultas Syari Ah Universitas Islam Negeri (Uin) Malang Fakultas Syari ’Ah Universitas Islam Negeri (Uin) Malang, 04210110, 2008, 1–102.

    [2]Ramadhan Syahmedi Siregar, Keabsahan Perceraian Perspektif Fiqh dan Undang-undang No.1 Tahun 1974, AL-MUQARANAH-Jurnal Program Studi Perbandingan Mazhab, 5.1 (2017), 17–30 <http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/almuqaranah/article/view/1349&gt;.

    [3]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah; Bab Talak.

    [4]Perkawinan.

    [5]Sabiq.

    [6] Abdurrahman Al-juzairi, Fikih Empat Madzhab; Jilid 5 (Kautsar).

    [7] Al-juzairi.

    [8]Syaikh Muhammad, Bin Shalih, and Kitab Fadha Al-quran Al-qufanl, ‘SHAHIH AL-BUKHARI’.

    [9]Abdul Fattah, Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6 Shahih, Sistematis, Lengkap, ed. by S.S Ircham Alvansyah (Jakarta Timur: Maghfirah Pustaka).

    [10]Hadits Muslim, <http://ismailibnuisa.blogspot.com/&gt;.


  • ARTIKEL KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG MAJELIS TAKLIM

    “Kebijakan Pemerintah Tentang Majelis Taklim”

    Suyanti

    Nim 19010030

    Prodi Pendidikan Agama Islam

    Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Mandailing Natal

    suyanti072200@suyantisuy

    Abstrak

    Majelis Taklim adalah Kegiatan keagamaan Masyarakat dan merupakan lembaga pendidikan non formal Islam sekaligus sebagai lembaga dakwah  yang ada di Indonesia. Dimana Ada Hubungan yang kuat antara politik dan pendidikan atau  pemerintah dengan pendidikan. Maka harus tertulis didalam peraturan sesuai bidang yang mengaturnya yakni kebijakan tentang pendidikan agama. Keberadaan Majelis Taklim di Indonesia sudah berlangsung sangat lama dan telah banyak memberikan kontribusi  bagi bangsa Indonesia. Majelis taklim  di tengah-tengah masyarakat sudah tidak asing lagi di kalangan umat Islam dan merupakan lembaga pendidikan tertua dalam Islam. Mereka yang tidak dapat mengakses bangku Pendidikan di sekolah juga dapat mengikuti kegiatan yang ada di Majelis Taklim. Majelis taklim yang tumbuh dan berkembang pesat dalam masyarakat bisa menjadi alternatif pusat pendidikan Islam jika memang dikelola secara baik. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui Kebijakan pemerintah Tentang Majelis Taklim atas keberadaannya di tengah-tengah Masyarakat. Kebijakan Apa yang diberlakukan atau di tetapkan pemerintah dalam memfasilitasi setiap Majelis Taklim. Metode yang dipergunakan dalam artikel ini adalah Metode Penelitian Kepustakaan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua sumber yaitu primer dan sekunder. Data primer berupa beberapa jurnal atau penelitian terdahulu yang relevan yang berkaitan dengan kajian yang sedang ditulis saat ini dan data sekunder yang diambil dari buku-buku, artikel-rtikel, dan teori yang mendukung sebagai tambahan.

    Kata Kunci: Majelis Taklim di Indonesia, Pendidikan Non Formal, Kegiatan Keagamaan.

    Pendahuluan

    Pendidikan di Indonesia ada yang bersifat formal dan ada pula yang non formal. Berbicara tentang pendidikan yang berbasis Islam maka ada istilah Majelis Talim di masyarakat yang berbau keislaman dan pastinya masyarakat muslim tidak asing lagi dengan istilah ini. Majelis Taklim maknanya adalah salah satu kegiatan masyarakat atau Lembaga Pendidikan Islam yang bersifat non formal yang ada di Indonesia. Eksistensi Majelis Taklim di Indonesia sangat urgen dan signifikan bagi kehidupan masyarakat khususnya umat Muslim. Perkembangnya sangat pesat di masyarakat dan keberadaanya di tengah-tengah masyarakat telah memberi kontribusi yang  cukup banyak  Sehingga tidak heran pemerintah memberikan kebijakan.

    Pemerintah dengan pendidikan tidak bisa dipungkiri dapat terpisah. Sejak dahulu keterlibatan pemerintahan dengan kegiatan-kegiatan yang ada di masyarakat terutama menyangkut tentang dunia Pendidikan adalah sudah ada sejak lama di Indonesia dan begitu pula khususnya di dunia Islam. Sebagai bentuk nyata dari langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia adalah dengan mempolitisasi pendidikan melalui undang-undang yang dibuat untuk mengatur eksistensi Pendidikan.

    Telah tertuang di dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 bahwa pemerintah telah mengatur sedemikian bentuk supaya pendidikan terarah seperti yng diharapkan oleh para pemerintah. Lewat Departemen Pendidikan yang dibentuk pemerintah,  maka pendidikan di Indonesia harus terikat oleh sistem pendidikan yang mengaturnya, yaitu telah membuat aturan terkait kepentingan Pendidikan agama Islam. Peraturan itu dibuat supaya sejalan dengan visi dan misi pemerintah yang ada.  Adapun tentang terkait kebijakan pendidikan di Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan dan itu bagus karena ingin menjadikan sesuatu hal agar lebih baik lagi kedepannya. Aturan itu berubah karena faktor utamanya tergantung pada dari peta atau politik dan siapa yang menjalankan roda pemerintahannya. Jadi Artinya bahwa bentuk kelahiran kebijakan pendidikan agama yang ada di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pola pemahaman para pemegang wewenang kebijakan. Majelis taklim di Indonesia sejak masa pemerintahan orde lama sampai sekarang, Majelis taklim memiliki peranan yang besar  juga dalam pergolakan politik yang ada di Indonesia.[1]

    Sejauh dengan adanya berbagai perbaikan dalam segi politik, telah menimbulkan perubahan keadaan pada pendidikan Islam. Pada masa reformasi keadaannya jauh lebih baik dari pada keadaan pemerintah di masa Orde baru saat itu. ini terjadi karena disebabkan telah banyaknya kajian. Begitu pula dengan Arah pendidikan Islam yang cukup terlihat jelas pengaruhnya. Juga disebabkan adanya pembaharuan terhadap pola fikir orang-orang penting di dalamnya. dari segi politik dapat dilihat dari bentuk kebijakan pendidikan Islam di era reformasi. Yang mana Lembaga pendidikan Islam pada masa ini  telah juga diakui oleh Undang-undang yakni No 20 tahun 2003 bahwasannya pendidikan islam itu meliputi lembaga formal, informal, dan non formal. Diantara lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti: pondok pesantren, madrasah, diniyah, sekolah umum berciri Keislaman, dan sebagainya. Ini merupakan hasil dari reformasi pendidikan, sehingga terjadinya pergeseran kedudukan pendidikan agama Islam.[2]

    Bila dilihat dari segi historis atau sejarah dari sudut islam, Majelis Taklim dengan zamannya yang berbeda-beda ternyata memiliki sejarah sejak dulu, yakni ternyata telah berkembang sejak zaman Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam pastinya. Dimana beliau adalah manusia yang paling besar pengaruhnya dan manusia yang paling dekt dengan yang maha pencipta. Sebagaimana diceritakan Pada zaman itu sudah pernah muncul berbagai jenis kelompok pengajian yang sukarela atau tanpa bayaran (tanpa pamri), yang siap sedia untuk membantu dakwa Rasulullah. Kelompok itu disebut dengan sebutan halaqah, yaitu kelompok pengajian bertempat di Masjid Nabawi. Tempat halaqah biasanya ditandai dengan salah satu pilar masjid untuk tempat berkumpulnya anggota dari kelompoknya masing-masing dengan salah seorang sahabat, yaitu ulama terpilih.

    Ciri dari sistem belajar agama melelui kelompok, baik melalui halaqah, maupun zawiyah (Majelis pengajian untuk kalangan muslim yang mendalami ilmu pengetahuan tasawuf di masjid Nabawi) dan al-kuttab (Majelis pengajian untuk kalangan anak-anak) adalah sikap ikhlas dan sukarela dari para da’i, guru atau pengajar tanpa pamrih apapun. Para pesertanya juga didorong kewajiban menuntut ilmu sepanjang hayat, terutama ilmu agama yang bersumber dari wahyu yang diterima oleh Rasulullah SAW. Anak-anak yang mengikuti perintah orang tuanya secara aktif dan terkontrol mengikuti kegiatan pengajaran di majelis taklim.

    Jika dilihat dari segi strategi pembinaan umat, dapat dikatakan bahwa Majelis Taklim merupakan wadah atau tempat sarana dakwah Islamiyah berlangsung yang murni institusional keagamaan.[3]Berdasarkan sejarah kelahirannya majelis taklim merupakan lembaga tertua dalam Islam walaupun tidak disebut majelis taklim, namun pengajian yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW yang berlangsung secara sembunyi-sembunyi di rumah sahabatnya Arqam Bin Abi Arqam.

    Pada zaman nabi dahulu pengajian dianggap sebagai majelis taklim menurut pengertian sekarang, setelah adanya perintah Allah Subhanahu Wata ‘Ala., untuk berdakwa menyiarkan Islam secara terang-terangan. Pengajian seperti itu segera berkembang di tempat-tempat lain yang diselenggarakan secara terbuka. Nabi telah berpesan kepada sahabatnya untuk meneruskan pengajian ini sampai generasi saat ini.[4]

    Pembahasan

    1. Pengertian Kebijakan.

    Kebijakan merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah. Menurut bahasa Kebijakan berasal dari bahasa Inggris yaitu dari kata  policy yang artinya adalah sebuah rencana kegiatan atau pernyataan. James E. Anderson menyatakan bahwa kebijakan selalu terkait dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah. Ia secara jelas menyatakan bahwa kebijakan itu adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Tidak hanya disampaikan oleh James E. Anderson dalam persoalan bahwa kebijakan, Seperti George C.Erwards III dan Ira Sharkansky juga mengemukakan pengertian kebijakan. Mengatakan bahwa kebijakan  adalah sebagai apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah.

    Kebijakan itu dapat berupa sasaran atau tujuan dari program-program pemerintah. Penetapan kebijakan tersebut dapat secara jelas diwujudkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan atau dalam pidato-pidato pejabat pemerintah serta program-program dan tindakan tindakan yang dilakukan pemerintah.[5]Contoh Kebijakan di definisikan sebagai berikut: Uu, Peraturan pemerintah, Keputusan presiden, Keputusan menteri, Perda, Keputusan Bupati/Wali kota, Keputusan Direktur dan lainnya.

    Kebijakan Ini sifatnya mengikat dan wajib di patuhi dan merupakan keputusan dari  pemerintah dan bersifat umum, berlaku juga untuk semua lapisan Masyarakat.[6] Sejalan dengan adanya berbagai perbaikan dalam politik, telah menimbulkan keadaan pendidikan Islam era reformasi keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru. Hal ini terjadi dikarenakan telah banyaknya kajian terhadap arah pendidikan Islam dan adanya pembaharuan dalam pola fikir. Dari segi politik bisa dilihat dari bentuk kebijakan-kebijakan pendidikan Islam pada era reformasi tersebut. Telah ditetapkan dan diakui bahwa  Lembaga pendidikan Islam pada masa ini dalam aturan UU Nomor 20 tahun 2003 iyalah meliputi lembaga formal, informal, dan non formal. Diantara lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti: Sekolah berbasis keislaman, Diniyah, Madrasah maupun Pondok pesantren dan lain-lain. Ini merupakan hasil dari reformasi pendidikan, sehingga terjadinya pergeseran kedudukan pendidikan agama Islam.

    2. Kebijakan Pemerintah tentang Pendidikan Islam di Negara Indonesia dari era Kemerdekaan hingga masa Sekarang.

    Setelah masa kemerdekaan, pendidikan Islam tidak dengan sendirinya dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional. Paradigma dualisme yang diwariskan pemerintah kolonial tetap mengakar kuat dalam dunia pendidikan di tanah air. Pemerintah Indonesia mewarisi sistem pendidikan yang dualistis, yaitu:

    1. Sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekuler.
    2. Sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Islam, baik yang bercorak isolatif-tradisional maupun yang bercorak sintesis.

    Keberadaan pendidikaan yang berbasisan islam seperti madrasah tingkat pengakuannya meningkat setelah diberlkukannya atau setelah ditetapkannya Uu tentang Sistem pendidikan Nasional. Pernyataan secara umum bahwa tujuan pendidikan nasional baik dari sekian banyak jenjang pendidikan yang ada di Indonesia harus atau diwajibkan adanya pendidikan Agama. Maka bisa dilihat implementasi dari adanya Uu tersebut, telah muncul juga beberapa peraturan yang ada di pemerintah tentang pendidika, yakni termasuk tentang pendidikan madrasah diniyah.

    Sebagaimana yang tercantum di peraturan pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan Agama dan juga tentang Keagamaan. Bahwasannya yang dimaksud dengan pendidikan agama di dalam peraturan ini iyalah dimana pendidikan ini adalah kegitan yang memberikan pengetahuan dan juga membentuk sikap kepribadian dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ilmu agama disetiap ajarannya.  Sedangkan Pendidikan keagamaan didefinisikan sebagai pendidikan yang dimana mempersiapkan peserta didik agar bisa melaksanakan atau menerapkan, dituntut dalam menguasai pengetahuan tentang ilmu, dan ajaran agama atau menjadi Ahli sekaligus juga agar dapat mengamalkannya pula. Terdapat di Undang-undang No 20 Tahun 2003 pada ayat 1,2,3 dan juga 4 telah disbutkan bahwa intinya seperti ini:

    1. Pendidikan keagamaan dilaksanakan oleh pemerintah, dan atau kelompok masyarakat dari setiap pemeluknya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    2. Pendidkan keagamaan berfungsi menjadikan pesrta didik siap untuk menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri sebagai orang yang memahami dan mengamalkan mengamalkan nilai-nilai ajaran dari agamanya masing-masing dan/atau menjadi ahl dalam ilmu agama.
    3. Penyelenggaraan pendidikan keagamaan bisa terapkan pada jalur pendidikan formal, non formal, maupun juga informal.
    4. Bentuk pendidikan keagamaan itu seperti pendidikan diniyah, pesanteren dan lain-lain yang berbasis pendidikan islam. [7]

    Pendidikan keagamaan Islam dapat berbentuk pendidikan diniyah dan pesantren. Pendidikan diniyah dapat diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Pendidikan diniyah non formal diselenggarakan dalam bentuk Pengajian kitab, Majelis Taklim, pendidikan Al-Quran, Diniyah Takmiliyah  atau bentuk lain yang sejenisnya. Pendidikan diniyah nonformal dapat berbentuk satuan pendidikan dan wajib mendapatkan izin dari kantor kementrian Agama Kabupaten/Kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian suatu pendidikan.[8]

    Adapun Kebijakan pemerintah tentang majelis taklim menyatakan bahwasannya majelis taklim adalah sebagai salah satu bentuk pendidikan Islam diluar sekolah atau disebut Nonformal. Telah ditetapkan di Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang  Standar Nasional Pendidikan. Pasal 3 disebutkan, pendidikan nonformal merupakan jalur pendidikan diluar sekolah yang dilakukan secara terstruktur dan berjenjang.[9]

    Standar nasional pendidikan iyalah kriteria minimal, yakni tentang sistem pendidikan diseluruh wilayah hukum NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dan Standar Nasional Pendidikan diatur di peraturan pemerintahan adalah untuk melaksanakan Undang-undang No 20/2003 tentang  sistem Pendidikan Nasional.

    Majelis Taklim merupakan lembaga sosial dan lembaga Kemasyarakatan. Berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia (maksudnya dalam bentuk kebutuhan ruhaniyah). Beberapa fungsi itu seperti:

    1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat. bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap dan mengambil keputusan didalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan;
    2. Menjaga kebutuhan sebagai bagian dari masyarakat;
    3. Serta memberikan pegangan pada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial atau mengontrol interaksi sosial (sosial kontrol), artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku angota di masyarakat.

    Pengertian majelis ta’lim baik dari aspek kebahasaan maupun aspek istilah. Konsep majelis taklim berasal dari bahasa Arab yaitu Jalasa, Yajlisu, Ijlis, Majelisun, yang berarti tempat duduk atau suatu tempat duduk bersama dalam mengadu pendapat atau saling bertukar pikiran. Sedangkan Taklim (Ta’lim) berasal dari kata ‘Allama’ Yuallimu, I’lam, Ta’liman yang berarti belajar atau pembelajaran. Jadi majelis taklim dapat didefenisikan sebagai suatu tempat duduk bersama dalam rangka melangsungkan pembelajaran secara nonformal yang dipimpin oleh beberapa uztad atau ustazah.

    Majelis taklim lembaga pendidikan yang bersifat pendikan non formal. adapun Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Bila dilihat dari struktur organisasinya, Majelis Taklim termasuk organisasi pendidikan luar sekolah yang bercirikan keagamaan Islam. Bila dilihat dari segi tujuan, majelis taklim termasuk lembaga atau sarana dakwah Islamiyah yang dapat mengatur dan melaksanakan kegiatan-kegiatannya.[10]

                Majelis Taklim sebagai Model Pendidikan Non Formal Islam di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 55 ayat 1 menjelaskan bahwa Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Pada pasal 52 ayat 1 juga dijelaskan pula bahwa Pengelolaan satuan pendidikan nonformal itu dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat.[11]

    Majelis taklim dapat digolongkan atau dikatakan sebagai lembaga pendidikan non formal karena sesuai Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 yaitu tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 26 ayat 4 bahwa disebutkan satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar masyarakat dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.[12] Dilingkungan agama islam bentuk jalur pendidikan luar sekolah yang kegiatanya diprogramkan antara lain berupa penyelenggaraan pengajaran membaca ayat Suci Al-Qur’an, Kursus Bahasa Arab, madrasah sore hari dan lain-lain. Selain itu pada jalur pendidikan luar sekolah ini terdapat banyak kegiatan pendidikan yang tidak diprogramkan, baik di bidang umum maupun secara khusus di bidang agama Islam. Di bidang umum terlibat berupa kegiatan kepramukaan, sanggar-sanggar seni, perkumpulan-perkumpulan dan lain-lain. Di bidang agama Islam terutama sekali berbentuk berupa kegiatan-kegiatan remaja di surau (langgar) dan masjid-masjid, pesantren kilat dan lain-lain, selama kegiatannya tidak diprogramkan, jadi bukan kursus bahasa arab yang diselenggarakan secara terprogram di masjid. Semua kegiatan pendidikan diluar sekolah di masyarakat yang berpengaruh terhadap perkembangan anak-anak dalam mencapai kedewasaannya, khususnya yang menunjang pembentukan kepribadiannya menjadi umat Islam yang bertaqwa dapat di kategorikan sebagai jalur pendidikan non-formal. Diantaranya yang penting adalah upaya memanfaatkan surau atau masjid, yang pasti atau pada umumnya terdapat dilingkungan masyarakat Islam di desa-desa atau di kota-kota. Orang tua dan Para Ustadz serta guru agama Islam di sekolah umum, perlu mendorong membimbing anak-anak dan para remaja untuk mendaya gunakan fasilitas tersebut secara maksimal.[13]

    Sesuai dengan pernyataan yang telah dipaparkan di atas bahwa benar Majelis Taklim terikat oleh sistem pendidikan yang mengaturnya.  Keberadaan Majelis Taklim di Indonesia sudah berlangsung sangat lama dan telah banyak memberikan kontribusi  bagi bangsa Indonesia. Majelis taklim  di tengah-tengah masyarakat sudah tidak asing lagi di kalangan umat Islam dan merupakan lembaga pendidikan tertua dalam Islam. Mereka yang tidak dapat mengakses bangku Pendidikan di sekolah pun juga dapat mengikuti kegiatan yang ada di Majelis Taklim. Majelis taklim yang tumbuh dan berkembang pesat dalam masyarakat bisa menjadi alternatif pusat pendidikan Islam jika memang dikelola secara baik.

    Sebagai lembaga pendidikan non formal, penyelenggaraan majelis taklim harus memenuhi persyaratan pendidikan non formal terutama yang terkait dengan guru atau ustazd yang propesional dan diangkat secara resmi. Di samping itu peserta majelis taklim harus terdaftar dan mengikuti proses pembelajaran secara kontinu berdasarkan jadwal yang ditentukan. Selain dari itu majelis taklim harus mempunyai kurikulum yang tetap, jelas dan terarah, serta hasil belajarnya bisa dievaluasi. Dengan demikian, majelis taklim sebagai lembaga pendidikan agama non formal adalah termasuk lembaga atau sarana dakwah Islamiyah yang dapat mengembangkan kegiatan yang berfungsi untuk membina dan mengembangkan ajaran Islam dalam rangka membentuk masyarakat yang bertqwa kepada Allah SWT dan telah diakui keberadaannya oleh pemerintah. Maka sebenarnya dengan dimasukkannya majelis taklim dalam jenis lembaga pendidikan nonformal sebagaimana dalam amanat UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, membawa konsekuensi pada segala kegiatannya pada pola-pola pendidikan nonformal itu sendiri, seperti kurikulum pembelajarannya, metode dan pendekatan pembelajarannya, manajemen kegiatannya dan lain-lain. Dengan demikian maka akan dapat membawa majelis taklim ini ke dalam kehidupan masyarakat modern dan globalisasi ini, sehingga dapat menjawab problem-problem sosial kemasyarakatan dan perkembangan teknologi serta komunikasi ini. Sehingga pada akhirnya majelis taklim mampu menjadi pendidikan nonformal yang keberadaannya dinantikan dan mampu menjawab tantangan kehidupan masyarakat dewasa ini.[14]

     Sebagaimana majelis taklim merupakan lembaga dakwah yang eksistensinya masih ada sampai saat ini, memiliki peran yang sangat berpengaruh dan signifikan dalam mengatur arus perubahan zaman di lingkungan sosial agar terkontrol, dalam perubahan yang sangat cepat ini yang tidak bisa dihentikan namun masih bisa kita kontrol dalam menghadapai perkembangan era modernisasi. Sebagaimana tujuan pendidikan Islam. Karena Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bahwa menyatakan Pendidikan Agama Islam itu bertujuan meningkatkan iman, pemahaman, penghayatan dan pengamalan hidup tentang agama Islam sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala serta juga berakhlak mulia dalam kehidupan sosial.[15]

    Kesimpulan

    Pendidikan di Indonesia ada yang bersifat formal dan ada pula yang non formal. Berbicara tentang Pendidikan Islam, kata majelis taklim tidak asing lagi didengar oleh masyarakat Indonesia. Adalah Lembaga Pendidikan nonformal dan merupakan pendidikan yang kental bercirikan islam di Indonesia. Perkembangnya sudah sangat pesat bertumbuh di masyarakat dan keberadaanya di tengah-tengah masyarakat telah memberi  kontribusi yang  cukup banyak  Sehingga tidak heran pemerintah memberikan kebijakan. Maka ada hubungan yang kuat antara politik dan pendidikan. Pemerintah dengan pendidikan tidak bisa dipungkiri dapat terpisah. Sejak dulu keterlibatan pemerintahan dalam dunia Pendidikan sudah ada di Indonesia khususnya pula di dunia Islam. Sebagai bentuk nyata dari langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia adalah dengan mempolitisasi pendidikan melalui undang-undang yang dibuat untuk mengatur eksistensi Pendidikan. Berbicara tentang pendidikan islam dan sejalan dengan adanya berbagai perbaikan dalam politik, telah menimbulkan keadaan pendidikan Islam era reformasi dengan keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru.

    Majelis Taklim sebagai Model Pendidikan Nonformal Islam di UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 55 ayat 1 atau disebut Perkembangan terbaru, Bahwasannya Menyatakan Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

     Pada pasal 52 ayat satu (1) juga dijelaskan: Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan pemerintah, pemerintah daerah juga masyarakat.[16] Majelis taklim dapat digolongkan sebagai lembaga pendidikan nonformal sesuai Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 26 ayat empat (4), bahwa satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar masyarakat dan majelis taklim, serta satuan pendidikan sejenis yang lain.

    • Referensi
    1. Al Faruq, Umar. (2020). Politik dan Kebijakan Tentang Majelis Di Indonesia. Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 5, 41-43.
    2. Hasbullah,dan Putra. Pendidikan Islam Orde Reformasi (Pendekatan Politik dan Kebijakan Pendidikan), Jurnal Ilmu Agama Islam, Vol 27-29.
    3. Zuhri. (2019) Majelis Ta’lim Sebagai Model Pendidikan Non Formal Islam, Jurnal Riset dan Kajian Pendidikan Agama Islam, Vol 2: 24
    4. Mustofa Arif, Muhammad. Majelis Ta’lim Sebagai Alternatif Pusat Pendidikan Islam, Jurnal Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Curup: 10.
    5. Rismawati dkk., Peranan Majelis Ta’lim Al-Mukarramah Dalam Membina Kehidupan Beragama Masyarakat di Kelurahan Tamaona Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Goa”, SKRPSI, 2012, hlm. 14-16.
    6. Rahmatanti Akib, Peranan Majelis Ta’lim Dalam Mencapai Keluarga Sakinah, Skripsi, Fak. Dakwah UIN 2009, hlm.2
    7. Sidiq, Umar dan Wiwin Widyawati. 2019. Kebijakan pemerintah Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia. Ponorogo: CV Nata Karya.
    8. Anwar, Kasful dan Kompri. 2017. Kebijakan Pendidikan Islam Di Indonesia Dahulu Kini dan Masa Depan. Jambi: Pusaka.
    9. Arwildayanto, dan Suking, Arifin.,dkk. 2018. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: Cendikia Press.
    10. Widyawati, Wiwin, Terhadap Pendidikan.
    11. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional thn 2003, 2011. Jakarta: SL Media.

    [1]Umar Al-Faruq, Politik dan kebijakan Tentang Majelis Taklim Di Indonesia, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol 5 No. 2, (Juni, 2020), 41-43.

    [2]Hasbullah, Arizal Eka Putra, Pendidikan Islam Orde Reformasi (Pendekatan Politik dan Kebijakan Pendidikan), Jurnal Ilmu Agama Islam, 27-29.

    [3]Rismawati dkk, Peranan Majelis Ta’lim Al-Mukarramah Dalam Membina Kehidupan Beragama Masyarakat di Kelurahan Tamaona Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Goa, SKRPSI, 2012,hlm. 14-16.  

    [4]Rahmayanti Akib,  Peranan Majelis Ta’lim dalam Mencapai Keluarga Sakinah ( skripsi, fakultas Dakwah UIN 2009), h. 2.

    [5]Kasful Anwar, Kompri, Kebijakan Pendidikan Islam Di Indonesia Dahulu, Kini, dan Masa Depan, ( Jambi: Pusaka, 2017), h:2.

    [6]Arwildayanto, Arifin Suking, dkk., Analisis Kebijakan Pendidikan, (Bandung: Cendikia Press, 2018), h. 3. 

    [7]UU Sisdiknas 2003 (Jakarta: SL Media, 2011), hlm. 22.

    [8]Wiwin Widyawati, Terhadap Pendidikan, h: 55-56.

    [9]Kasful Anwar, Kompri, Kebijakan Pendidikan Islam Di Indonesia Dahulu, Kini, dan Masa Depan, ( Jambi: Pusaka, 2017),  h: 221.

    [10]Rismawati dkk., Peranan Majelis Ta’lim Al-Mukarramah Dalam Membina Kehidupan Beragama Masyarakat di Kelurahan Tamaona Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Goa, SKRPSI, 2012,hlm. 14-16.

    [11]Zuhri, “Majelis Ta’lim Sebagai Model Pendidikan Non Formal Islam”, Jurnal Riset dan Kajian Pendidikan Agama Islam, Vol.2, No.1 (2019): 24.

    [12] Departemen Agama RI., Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2006), 19.

    [13]Kasful Anwar, Kompri, Kebijakan Pendidikan Islam Di Indonesia Dahulu, Kini, dan Masa Depan,..h: 224.

    [14]Zuhri, “Majelis Ta’lim Sebagai Model Pendidikan Non Formal Islam”, Jurnal Riset dan Kajian Pendidikan Agama Islam, Vol.2, No.1 (2019): 29.

    [15]Muhammad Arif Mustofa, “Majelis Ta’lim Sebagai Alternatif Pusat Pendidikan Islam” Jurnal Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Curup; 10.

     


  • Seorang Perencana

    Photo by Karolina Grabowska on Pexels.com

    Seorang perencana, salah satunya seorang perencana keuangan adalah orang yang bijak.dia merencanakan keuangan atau mengelola uang Agar ia tidak mau menjadi orang bodoh yang boros, terhindar dari tindakan Konsumtif dan Implusif dan lagi pula dengan cara mengelola keuangan dapat menciptakan Gaya hidup hemat dan Bebas Hutang. ia berfikir maju kedepan bagaimana caranya agar uang itu dapat terkelola, agar disuatu masa nanti di waktu yang akan mendatang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. contohnya melalui kegiatan Investasi. dan dengan mencatat Budgeting dapat mengetahui yang sebenarnya tentang situasi keuangannya, apakah sedang baik atau malah memburuk, terkontrol ataukah tidak?, apa mala labih besar pasak dari pada tiang?


  • Dunia Ilmiah

    mahasiswa dituntut untuk berpikir secara Terbuka, Kritis, Sistematis, Komprehensif, dan mendasar. mahasiswa sebagai peserta didik termasuk Anggota Masyarakat Ilmiah-akademik yang mengambil keputusan dengan mempertimbangkan Moralitas. karena keputusan Ilmiah yang diambil tanpa pertimbangan moral akan menjadikan dunia Ilmiah menjadi tidak bernilai.

    Etika dan Moral memiliki makna yang tidak jauh.


About Me

The sky is not completely dark at night. Were the sky absolutely dark, one would not be able to see the silhouette of an object against the sky.

Follow Me On

Subscribe To My Newsletter

Subscribe for new travel stories and exclusive content.

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai